Tantrayana Poem by Titon Rahmawan

Tantrayana

Rating: 5.0

Jangan bicara tentang kesucian padaku, sebagaimana cinta yang kauelu-elukan bakal abadi. Sebab tak ada cinta yang serupa itu di sini, di atas papan pertempuran ini. Sang raja tak menitahkan sang menteri untuk takluk, melainkan sembunyi dari rasa jerinya sendiri. Sebab, pion-pion itu terlalu tergesa untuk mengejar sebuah kemenangan.

Di atas papan catur inilah kita beradu. Antara kau dan aku, serta sejuta varian pembukaan yang akan menuntaskan seluruh rindu dendammu padaku. Aku tak akan menyerah begitu saja, meski gelar grandmaster telah kausandang sejak seabad yang lalu.

Adalah pada dua kuda hitam aku menggantungkan pertahananku untuk merobohkan benteng putih kesombonganmu. Sekalipun bertubi-tubi kaumantrai aku dengan tembang yang ujarmu kaukutip dari serat tantrayana. Di mana kaukenalkan aku pada enam langkah suci untuk mewujudkan kebahagiaan sejati.

Pada langkah pertama, kaulantunkan Asmaranala, yang bermakna kedua insan yang bercinta sebaiknya dilandasi rasa cinta kasih dari lubuk hati masing-masing. Engkau berhujah, bahwa kumbang tak sekadar menyalurkan hasrat birahi pada kembang yang ia incar, melainkan bagaimana ia merendahkan dirinya untuk melayani demi penyatuan dua hati yang saling menghormati.

Kemudian pada Asmaratura-lah, engkau menyuratkan maksudmu. Melukis rembulan pada mataku dan bias cahayanya engkau sapukan pada permukaan bibirku. Hingga aku akan mengerti, bahwa cinta harus menumbuhkan rasa saling memiliki sebagai kebanggaan di dalam hati masing masing. Bukan semata pada kejantananmu hatiku tertambat, dan bukan pada kemolekan tubuhku hatimu takluk. Melainkan pada penghargaan atas apa yang kita berikan sebagai persembahan yang tulus dan dengan demikian maka kita akan saling memahami.

Suratan tanganmu telah kaugoreskan di permukaan kulitku dan kecupanmu telah kauterakan di puncak dadaku. Maka pada Asmaraturida aku merasa tersanjung oleh kegigihan dan kesabaranmu untuk menguasai ranjang pertempuran ini. Gairah yang mengisyaratkan, bahwa sekalipun kita bukan pasangan yang ditakdirkan untuk menyatu dalam kehidupan di masa lampau, kini dan masa depan. Namun itu tak mengurangi kegembiraan yang kita ciptakan di antara piring sukacita. Saat kautuang emosi ke dalam gelas canda dan gelak tawa yang mengiringi perebutan kekuasaan di antara terjangan pisau dan tusukan garpu yang berkelebat di depan mata.

Aku telah merebut sebagian wilayahmu dan engkau telah mengobrak abrik pertahananku. Namun kita sama sama tak hendak undur barang selangkah untuk mencapai puncak kejayaan. Sebab dalam Asmaradana kita telah sampai pada tahap di mana kekuatan tidak hanya terletak pada tembang dan susunan kata-kata yang indah. Engkau sengaja menjebak diriku agar takluk pada rayuanmu yang memesona. Sedang aku akan segera membinasakanmu dengan sentuhan lidahku di ujung bibirmu yang mulai kehausan atau di puncak kejantananmu yang masih berdiri tegak serupa benteng menjulang.

Telah kujejali benakmu dengan rangkaian syair dan puisi yang menggugah hati dan dengan merdu suara baritonmu, kaulantunkan tembang tembang lawas yang membuat hatiku meronta ronta. Dalam romansa puitik Asmaratantra kau berusaha menjadikanku istimewa. Betapa kautahu, bahwa setiap belaian tanganmu akan menaikkan aku ke langit ketujuh. Dan hanya dengan jilatan apimu kauhumbalangkan aku kembali ke bumi.

Namun dalam Asmaragama kita akan menuntaskan segalanya. Sebab aku tahu, bahwa ini adalah saat di mana engkau akan segera larut dalam khusyuk semedi dan kembang tujuh rupa dalam sebaskom air wangi akan membersihkan diri kita sebelum menyatukan jiwa ke dalam puja kepada Acintya, Sang Hyang Widhi Yang Maha Memberi.

Namun aku bukanlah permaisurimu dan engkau bukanlah raja junjunganku. Aku tidak akan menggelung rambutku dan mencuci farjiku. Mandi di bawah dingin pancuran tujuh sendang hanya untuk menyerahkan kehormatanku. Sebab aku tak akan memberimu kebahagiaan yang engkau cari, sebagaimana engkau tak akan memberiku kebebasan yang aku minta. Dan di antara kita tak ada ikatan yang sungguh sungguh nyata selain fakta, bahwa aku adalah seteru abadimu. Kita tak akan pernah berhenti untuk saling menumpas dan menghancurkan di atas papan pertempuran yang lebih menyerupai padang Kurukshetra ini.

COMMENTS OF THE POEM
READ THIS POEM IN OTHER LANGUAGES
Close
Error Success