Khalwat Poem by Titon Rahmawan

Khalwat

Dari balik tingkap ini aku sengaja mengintaimu. Memasang kamera pada jalusi untuk melihatmu mencumbui malam. Seperti gerimis yang baru saja turun, menggiringmu melewati teras rumah tetangga lalu sengaja menggeletakkan tubuhnya di atas sofa abu-abu yang dulu engkau beli dari pesta Sri Ratu. Tangan-tangan hujan tidak meronai pipimu dengan warna merah jambu, melainkan coklat tua agar senada dengan jaket yang dikenakannya.

Walau, ia hanya seorang penjaga yang membawa suar kemana-mana. Namun ia juga adalah samudra tak bernama yang tak urung menelikung tubuhmu dengan kata luas tak terperi. Sebagaimana kata-kata rayuan yang diucapkannya bergema bersama lantunan tembang-tembang lawas yang ia rekam sepekan sebelumnya dari sebuah aplikasi di internet.

Ia tak menyembunyikan tangannya yang sibuk menggali harta karun jauh ke dalam lubukmu. Membiarkan pikiranmu terbang melayang ke pelataran Sukuh, ke atas puncak arca garuda di Cetha dan lalu melayap jauh hingga ke Khajuraho. Menangkap semburat lidah api yang asyik menyigi setiap detail relief candi yang akan membuat nafas kalian tersengal-sengal. Betapa piawai ia memanggil awan dan memetakan semua rencana perjalanan wisata mimpi kalian ke Thailand, Bhutan, Nepal, Burma, India, Sri Lanka, Maladewa hingga ke China.

Pada lukisan Lee Man Fong engkau menjelmakan dirimu menjadi seorang gadis Bali yang bertelanjang dada. Bersimpuh di bawah pohon banyan sambil memantrakan puja. Sementara aku terjatuh dan terjerembab berungkali dari loteng ini dengan kaki yang goyah dan juga patah. Tak sekali-kali berani beranjak hanya untuk sejenak menghela nafas.

Karena lelaki pembawa suar itu telah menaikkan tubuhmu ke atas kereta berkuda dan menjelmakan dirimu menjadi seorang permaisuri. Seperti paduka Sri Ranggah Rajasa yang menyunting Ken Dedes di balik kejayaan Singosari. Ia sungguh lelaki pemberani yang tak gentar mengajakmu menari. Menjelajahi gunung, lembah, kebun dan persawahan di bawah naungan pohon-pohon trembesi di pinggiran jalan. Melewati sekumpulan bocah yang tengah bermain gundu, gobak sodor dan sunda-manda.

Engkau tak menghiraukan mereka dengan bising lagu dangdut di balik suara desahanmu. Menancapkan lembing pada setiap cubitan bibir yang bernafsu menyadap getah dari busung dadamu. Tajam gigi taring dan juga geraham yang menerakan sebuah marka rahasia di atas jenjang lehermu. Sedang mataku terantuk gelap yang berjatuhan di bawah pintu palka yang merapuh ini. Saat layar mulai terkembang dan lelaki keturunan nelayan itu menggeser lunas perahumu di atas lidah ombaknya.

Betapa daun-daun anthurium merunduk layu, menatap cemburu pada setiap jari yang meremukkan hasratmu. Membawa ragamu membubung tinggi hingga ke puncak pokok mahoni. Lalu menjungkalkanmu ke dalam gua nan gelap serupa sumur tak berdasar. Akan tetapi, semua itu tak menyurutkan langkahmu. Sebab, setiap dua atau tiga kali engkau terjatuh, engkau masih terus berusaha bangkit berdiri, bertelekan tubuh liat si akar bakau. Ia yang kemudian, menyematkan makna kegembiraan pada setiap kitab yang dulu pernah kita baca bersama-sama di perpustakaan milik sang raja.

Dan untuk kesekian kalinya engkau sengaja membacanya sendiri atau berdua dengan sang serdadu pemilik kebun apel dan sekawanan anjing Siberian Husky. Bersama sang alkemis penemu ramuan rahasia yang membuatmu awet muda. Atau kawan masa kecilmu yang jemari tangannya cacat terpotong pisau gergaji. Mereka tak lebih gila dari para peramu teh dan juga kopi, tukang pijat pengelana dunia atau laki-laki pensiunan tua bangka yang tinggal di depan rumah. Sebab mereka memaknai hari-hari kesendirian sekadar sebagai pengobat dahaga belaka.

Namun tidak seperti peristiwa yang engkau catat beberapa tahun yang lalu, di mana pewaris nama keturunan ibumu yang masih belia menghadirkan ingatan itu sekali lagi. Bersamanya engkau telah membuat celah baru di lantai, tepat di antara kulkas dan meja makan. Menemukan lorong-lorong tersembunyi menuju ke langit yang terhampar di antara jenjang kedua kakimu yang kuning keemasan. Berusaha memerangkap semua hasrat laki-laki bermata biru di dalam sebuah folder dan diam-diam menyimpannya, demi sebuah kesenangan fana yang bisa kauputar kembali kapan saja.

Pada lubang pengintaian itu engkau akhirnya menuntaskan seluruh cerita. Menghabiskan malam pertama dan sekaligus untuk yang terakhir kalinya. Pada rambut yang berombak dan dada yang bergelora. Menghadirkan semua rangkaian peristiwa dari setumpukan buku roman picisan yang dengan suka cita telah kalian tamatkan. Seperti kisah kapal yang karam di Selat Bosporus. Seperti terjangan Noru, angin taifun yang mengamuk di Laut China Selatan. Gerak misteri rangkaian bintang-bintang purbawi di seantero Galaksi Bima Sakti. Atau sisa gerimis hujan dari Timbuktu yang kemudian mengubah arah perjalanan hidupmu.

Masa lalu, masa kini dan masa depan saling bertaut dan berjalin dengan waktu, berpendaran seperti cahaya kunang-kunang. Hinggap di atas permukaan daun monstera di dalam sanctuary milikmu yang kini berubah menghijau. Mendadak kembali muda. Butir butir oksigen dan klorofil berlari bergegas. Serupa cairan hijau transparan yang kencang menyembur ke segala arah dan ke segala penjuru. Meninggalkan jejak-jejak kenikmatan yang tak terlupakan di sudut bibirmu yang pecah berdarah.

COMMENTS OF THE POEM
READ THIS POEM IN OTHER LANGUAGES
Close
Error Success